Jumat, 01 Desember 2017

Jangan membuat Kami Kecewa



Jangan membuat Kami Kecewa

Ingatan saya belum hilang ketika Bapak Ridwan Kamil dengan “gagah” berani menolak tawaran dalam bursa pemilihn gubernur DKI Jakarta. Bukan sekedar demi pamor politik dan strategi peningkatan elektabilitas diri, beliau memberikan alasan yang sangat baik dan konsisten, yaitu masih ingin meneruskan amanah, memimpin warga Bandung. Dalam status Fanpage nya, “Jika pilkada bisa serempak semua, tidak akan ada stigma pemimpin kutu loncat bagi mereka yang ingin mengabdi ke jenjang lebih tinggi . Hal ini dapat dijelaskan, beliau tidak suka dengan politik “ pemimpin kutu loncat”, meskipun mempunyai kesempatan yang besar. Saya menyitir statement Kang emil bulan februari lalu saat memilih kota Bandung sebagai tempat untuk mengemban amanah Walikota;
“ Masalah batin saya hanya satu. Saya belum selesai menunaikan tugas sebagai Walikota Bandung. Andai pilkada di Indonesia ini bisa serempak awal dan akhirnya, tentu tidak akan ada dilema seperti ini. Jika pilkada bisa serempak semua, tidak akan ada stigma pemimpin kutu loncat bagi mereka yang ingin mengabdi ke jenjang lebih tinggi. Dan jika mengikuti hawa nafsu dan hitungan matematika pilkada, pastilah saya tidak banyak berpikir panjang. Namun hidup tidaklah harus selalu begitu. Saya ingin bahagia tanpa mencederai. Saya ingin menang tanpa melukai.

Sebagai walikota Bandung, beliau merasa belum bisa memberikan apa-apa terhadap warganya (sifat sangat rendah hati ini membuat saya begitu kagum-kagum terhadap pola kepemimpinannya), padahal menurut saya, dibawah kepemimpinan beliau, warga Bandung menjadi lebih maju dan merasa merdeka sebagai warga. Dengan penuh gagah dan rendah hati (biasanya gagah itu jarang sekali berdampingan dengan rendah hati, justru gagah identik dengan “merasa tinggi dan angkuh”), Kang Emil meminta maaf kepada para elit politik yang ingin mengusungnya, bukan karena beliau tidak mampu (apalagi tidak berani), namun beliau merasa “takut” meninggalkan warga yang didampinginya di Bandung, takut atas amanah warga Bandung yang disematkan padanya. Selain itu, Kang Emil juga meminta kepada warga Jakarta yang mendukungnya bersabar tidak menyegerakannya untuk pindah, dan berterima kasih karena sudah memilih dan mendukungnya.


Pemimpin kutu loncat , (kalau saya menilai “pemimpin Batu loncat”, yaitu pemimpin yang berkesempatan naik jabatan lebih prestisius), sepertinya memang banyak terjadi dalam kepemimpinan di Republik ini. Hal ini dikarenakan pemilihan kepala daerah tidak serentak. Mari kita sejenak mengingat kejadian tempo lalu, melihat perjalanan pemimpin didaerah yang saat menjabat (artinya periode belum berakhir) merelakan masuk bursa jabatan yang lebih prestisius. Contohnya saja seorang pejabat mundur dari walikota suatu daerah di Indonesia untuk memilih menjadi Gubernur Jakarta yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia. Seorang anggota DPR juga mundur untuk berpasangan dengan salah satu pasangan Gubernur DKI.


Cara beliau-beliau para pejabat dalam meraih kepemimpinan memang tidaklah salah, sayapun menilai hal itu benar benar benar dalam politik. Namun ada beberapa catatan kenapa seorang pemimpin itu harus konsisten terhadap programnya, amanah terhadap warga. Berikut catatannya : pertama, Misalnya saja seorang Bupati yang menjabat selama 5 tahun, maka program didalam visi misinya harus diselesaikan sesuai periode yang diamanahkan, kalau tidak, maka rakyatlah yang harus dikorbankan, program yang hanya setengah-tengah, tidak maksimal dan tidak konsisten, menciderai visi misinya. Kedua, Apabila dalam 3 tahun periode masa jabatan Bupati, ditengah masanya, mencalonkan gubernur atau wakil Gubernur, terasa kurang etis (menang dicaci, kalah membuat malu). Karena seperti bola berputar kembali, berkampanye berjanji-janji, padahal janjinya sebagai Bupati belum dituntaskan. Ketiga, akan ada kebijakan, program, cita-cita yang terhenti, separoh perjalanan dan tidak akan maksimal. Keempat, ada ketidakrelaan warganya yang menilai bahwa pemimpinnya yang terbaik, unik (hanya satu) dan tidak tergantikan. Kelima, ada faktor teori politik, dijatuhkan pelahan dengan cara diunggulkan dimuka, padahal niatannya (dari lawan politik) untuk menjatuhkan pemimpin tersebut. Keenam, kalau hanya untuk meningkatkan elektabilitas saja, contohnya dengan cara pura-pura mencalonkan diri, masuk bursa pembicaraan media sosial, masuk isu dan wacana publik, berakhir menjadi terkenallah nama orang tersebut, maka tidaklah akan baik pada akhirnya semua hal dengan kepura-puraan.


Ahhh, ini hanyalah gurauan yang tidak penting, kata orang Desa, “nyapo kok mikirake pejabat sing nek nduwor, wong sing nek nduwor gak tau mikirake awake dewe”, kenapa kita memikirkan pejabat diatas kita (rakyat), padahal mereka saja tidak memikirkan kita. Iya memang benar seperti itu, namun perlu kita ingat, Vox Popoli Vox Dei, suara rakyat adalah suara Tuhan. Warga negara adalah sebagai katalisator terbaik, pengkritik ulung, pemberi saran objektif dan sebagai “ibu” ketika semua jabatan berakhir (terlepas).


Kita membicarakan tentang konsistensi, bukan barisan kelompok hoaks yang sengaja menyerang lawan politiknya, bukan. Sebagai warga negara, kita hidup untuk menebar kebaikan kepada orang lain, kalau sebagai pemimpin ya harus membina warganya dengan baik sesuai janji-janji politiknya. Khoirunnaasi angfanguhum linnas, sebaik baik manusia yang bermanfaat untuk orang lain. Nah, Coba bayangkan betapa hidup ini sangat indah bila saling mengerti dan memahami peran, tanpa harus terbuai oleh rayuan jabatan yang lebih bergengsi dan keren, maka Akan ada suatu masa dimana posisi (jabatan) tidak akan diperebutkan, “kursi” tidak akan dicari hingga melukai orang lain, melukai rakyat yang dipimpinnya.
Bicara tentang kepemimpinan, manusia adalah khalifah fil ard , pemimpin didunia (bukan PBB, tapi di muka bumi). Sebagai presiden, gubernur, bupati dan jabatan lainnya adalah pemimpin bagi rakyatnya. Sebagai seorang bapak, menjadi pemimpin dikeluarganya. Sebagai seorang istri menjadi pemimpin dalam mengelola keluarga, suami dan anak-anaknya. Sebagai seorang hamba/pembantu, berperan memimpin terhadap perintah tuannya. Semua akan mendapatkan pertanggungjawaban, kalau tidak didunia, diakhirat kelak.


Tahun 2018, akan ada pemilihan kepala daerah serentak. Semoga tidak ada lagi para pemimpin yang mempunyai inisiatif merelakan jabatan yang diemban demi meraih jabatan yang lebih tinggi.
#1

Share this:

Related Posts
Disqus Comments